Monday, January 26, 2015

Wisata Hati

What a hard weekend. Ceritanya sih libur empat hari dan harus dinikmati. Akan tetapi, pada hari Jumat nan kelabu itu gue seolah tertimpa sebuah bongkahan batu yang saking beratnya mungkin sampe nggak bisa ditimbang, mungkin juga timbangannya malah jadi rusak. Yang konek sama aneka macam akun SNS gue jelas tahu pasti bagaimana suasana hati gue hari itu. Benar-benar suram. Satu hari bener-bener nggak mood ngapa-ngapain. Bahkan, ketika berita tersebut telah dikonfirmasi oleh pihak yang resmi dan berwenang, makin nggak karu-karuan hati ini. Demi apa 2015 baru jalan dua hari tapi sudah dapet kabar begini. Steven Gerrard yang selama ini gue yakini akan berseragam Liverpool sampai akhir karirnya resmi mengumumkan kepindahannya. Kontan bukan gue aja yang brokenhearted karena berita ni. Lihat tu para Kopites juga gundah gulana karena keputusan kapten yang bisa dibilang cukup mendadak ini. Jujur aja, gue sampe menangis hari itu. Mungkin bagi sebagian orang, ngapain sih menangis hanya gara-gara pemain bola pindah klub? Namun, gue yakin, sebagian orang yang lain pasti paham betul dan mengerti mengapa seseorang bisa menangis karena hal yang konon katanya trivial ini. Gue udah kayak burung yang nggak mau keluar sangkar, sampe akhirnya ketiduran dan bangun menjelang Maghrib dan betul saja, gue belum makan. Amazing, huh?

Timeline Path, Twitter, Facebook semua bener-bener nggak kondusif. Oleh karena itu gue lebih memilih untuk stay out of them for a while. Padahal gue juga posting tulisan-tulisan galau di Path eh sok-sokan nggak mau baca apa yang terjadi di kancah per-SNS an dunia. Lol.Jadilah hari Jumat kelabu itu gue stay di kamar seharian, keluar cuma buat makan dan ke kamar mandi. Dan baru pada malam harinya ketika para anggota keluarga sudah mulai berkumpul, pada akhirnya gue keluar dari gua persembunyian gue. Buset, udah macam manusia purba aja hidup di dalam gua. Bedanya, gue hidup di gua yang ada kasur, tv, dan kipas anginnya. Huahahahaha. Sayup-sayup kudengar adek sepupu gue pengen ke pantai sama temen-temennya naik motor. Iya, you heard it right. Naik motor. Singkat kata, permintaan tersebut nggak direstui sama om dan tante gue a.k.a. kedua ortunya. Dan malam itu juga terketoklah palu kami sekeluarga akan pergi ke Pacitan. Yeayyy! Yang pertama ada di benak gue adalah... eng ing eng.. Klayar! I felt so excited, untuk sementara duka hati tentang Gerrard mampu teralihkan, walau malamnya pas mau tidur inget lagi. Lol!

Ini kenapa gue malah cerita berlarut-larut tentang gundah gulana gue akan hengkangnya Gerrard. Back to topic deh, kan mau cerita tentang liburan gue ke Pacitan. Oke, hari Sabtu itu gue dan keluarga berangkat jam delapan pagi. Perjalanan sih biasa aja, nothing special; sawah di kanan dan kiri jalan. Kami berhenti sebentar di salah satu rumah makan di Wonogiri untuk isi perut dan beli oleh-oleh untuk tante Pin (tante gue yang tinggal di Pacitan). Walaupun ada sodara disana, om dan tante gue pilih nginep di hotel, katanya takut ngerepotin, gitu. Hehe. Ah, memang orang Jawa begitu ye... Lumayan geje juga sebenernya, secara sampai Pacitan itu kami belum dapet hotel sama sekali. Alhasil dapet hotel yang kata orang-orang paling bagus se Pacitan, namanya Hotel Prasasti. Ni hotel punya tiga lantai dan hebatnya adalah kami dapet kamar di lantai tiga and there's no elevator. Jadi kami terpaksa harus naik tangga. Ya lumayan lah itung-itung olahraga. Buat gue dan adek gue yang bisa dibilang tulang muda, naik tiga lantai begitu mah masih oke-oke aja, tapi buat om dan tante gue kayaknya cukup melelahkan. Lol.

Sorenya, kami sekeluarga ke rumah tante Pin yang letaknya lumayan deket dari laut. Katanya kalau mau ke laut jalan kakipun bisa. Keren ya? Walaupun bisa jalan kaki, kami naik mobil. Sebenernya gue udah menduga kami akan ke pantai mana. Apalagi kalau bukan Pantai Teleng Ria yang mana gue sering salah sebut jadi Teleng Sari. Hahaha. Pantai Teleng Ria merupakan pantai yang paling dekat dengan kota Pacitan. Padahal gue itu tipikal orang yang kalau mantai maunya yang mblusuk-mblusuk, secara justru yang mblusuk-mblusuk itu memiliki pemandangan yang bagus. Kayak waktu gue ke Nampu, itu jalannya kan agak horor gitu, tapi harus gue akui kalau pemadangan nya bagus. Kan ada tu peribahasa yang mengatakan "Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian". Bisa lah peribahasa itu diibaratkan kita bersusah dahulu dan pada akhirnya mendapatkan hasil yang diinginkan dan semua jerih payah kita terbayarkan. Pantai Teleng Ria itu rame banget karena memang udah ada yang mengelola. Di samping itu, lokasi yang mudah dijangkau membuat banyak orang yang mengunjungi ni pantai. Nah, bagi gue, itu kurang challenging alias kurang menantang.

Disaat para muda mudi macam gue dan adek gue bermain dengan kamera dan pasir pantai, para sesepuh (?), oke maksudnya om, tante, dan keluarga lain ngadem di suatu tempat yang katanya sih disebut Limasan or something gitu. Kami disajikan lima piring singkong tabur keju yang rasanya Subhanallah enak bangeeeeeeet dan juga wedang jahe yang anget tapi seger (hayo piye kui maksute?). Keadaan pantai waktu itu rame, okelah boleh kita sebut Kute nya Pacitan. Gue jadi galau kan mau foto-foto. Mau jepret sini, ada orang. Jepret sana, ada orang lagi. Trus aku kudu piye? Berhubung air laut katanya memang lagi pasang dan tinggi, gue nggak berani mendekat atau melakukan hal-hal aneh macam nyemplung ke air dan sejenisnya. Nggak bawa baju ganti juga. Celaka tujuhbelas ntar kalau basah-basahan, kalau masuk angin gimana? Nggak lucu kan, liburan bawaannya malah penyakit. Nggak lucu juga liburan bawaannya gundah gusar galau bin gulana karena seorang Steven Gerrard. Tetep ye, liburan pun namanya kalau hati lagi gundah ya gundah aja. Aiyuhhh.

Penggalauan yang terencana :P

Sejak berangkat gue memang udah punya misi. Gue bahkan bawa baju Gerrard gue yang ada angka 8 di belakangnya. Gue pun juga udah berniat melakukan suatu hal pada pasir-pasir pantai yang putih bagai tak berdosa itu. Ya yang berdosa mungkin pengunjung-pengunjung pantainya yang buang sampah sembarangan. Pada dasarnya, mereka telah mendzolimi pasir putih yang kata gue tadi nggak berdosa itu. Langsung deh tanpa basa basi gue mencari ranting pohon atau apa aja deh yang bisa dijadiin alat mengukir nama kaptenku di hamparan pasir. Mungkin gue bisa dibilang berdosa juga kali ya, buang sampah sembarangan sama nulis di pasir itu lebih dosa yang mana sih?



Kami berada di Teleng Ria sampai malam. Setelah itu, gue ngikut om gue yang di Pacitan. Beliau seorang chef yang telah berkarya (?) di berbagai hotel berbintang. Beliau mempunyai rutinitas mengajar para chef junior di restoran pantai Teleng Ria tersebut. Tanya makanan apa aja deh pasti beliau tahu, beneran kayak orang yang udah pernah berkeliling dunia. Berbincang dengan beliau secara nggak langsung juga membuka kembali kenangan gue akan masa-masa di Novotel-Ibis dulu. Gue suka ama pekerjaan gue dulu yang sebagai GRO alias Guest Relation Officer, tapi apa daya, takdir berkata lain. Hehe. Makanya kemarin seneng banget gitu karena menemukan seseorang yang bisa 'klik' diajak ngobrol. Sebelum pulang kami nemenin si om ngajarin masak juniornya di restoran tersebut. Ya itung-itung gue bisa sekalian belajar masak. Niatnya sih mau ikut nimbrung belajar masak, tapi ujung-ujungnya gue cuma jadi food tester. Kalau begini kapan cooking skill gue bisa maju? Oleh karena itu, dalam kesempatan ini gue juga ingin minta maaf pada calon suami dan calon mertua gue, siapapun itu, maaf Putrinya masih dalam level seperti ini, tapi I won't stop learning. Janji deh :)

Singkat kata, malam kami kembali ke hotel dan niat nyari makan di alun-alun. Wah bener-bener dah, muter satu kali kayak orang ga jelas gitu mau ngapain. Gue baru tahu kalau milih menu apa untuk dimakan itu memang susah. Selama ini gue nggak pernah kesusahan tiap milih makanan, yang susah itu adalah menentukan dimana kita ingin makan. Oh, itu sama aja ya? Ehehe. Alhasil kami mampir ke sebuah kedai sate Padang. Jujur that was my first time and also last time ya makan sate Padang. Karena belum pernah makan, gue sih mau-mau aja gitu, sekalian nyobain kan. Eh tapi ternyata apa sodara-sodara? Gue nggak doyan sama sekali. Biasanya makan sate pake sambel kacang, ini sambelnya lengket-lengket macam mozarella tapi warnanya ijo bebek gitu. Nampaknya cuma gue deh yang nggak doyan. Om, tante, dan adek gue asyik-asyik aja tuh. Apa ada yang salah dengan gue? -_-a Malam itu gue nggak bisa tidur, bukan karena tidur di tempat asing, tapi karena gue nggak ngantuk-ngantuk masa. Padahal paginya kami ada rencana mau ke pantai Soge. Yeayyy! Finally the real journey! Karena memang gue agak nggak puas gitu ama pantai Teleng Ria. Sedikit cerita dari om gue, katanya malam itu ada sesuatu yang mengganggu tidurnya. Om bilang katanya ada yang narik selimutnya gitu. Oh my God...memang semua bangunan ada 'penghuni' nya sih, tapi untung aja 'dia' yang di kamar om itu kayaknya termasuk kategori baik hati.. dan untungnya lagi kamar gue baik-baik aja.

Keesokan harinya, kami langsung berangkat ke Soge setelah sarapan. Dengan bermodalkan celana pendek dan kaos, dan lotion pastinya, semangat gue benar-benar membara (oke, lebai) hari itu. Jadi gini, kalian juga mengalami hal ini apa enggak sih, guys? Tiap akan pergi ke suatu tempat, kalian browsing dulu gitu, tanya-tanya sama si mbah sakti yang bernama Google itu. Kayak apa sih tempat yang bakal kalian kunjungi. Soalnya itu yang gue lakukan sebelum memutuskan pengen ke Soge. Kata si mbah, Soge itu bagus dan berada di tepi jalur lintas selatan. Dengan kata lain, itu pantai tepat berada di tepi jalan raya. Iya, beneran. Katanya sih jalur Trenggalek-Pacitan gitu. Waktu gue lihat gambarnya, wow mendadak gue jadi punya imajinasi pantainya tuh bakal kayak pantai di Australia gitu, yang pantainya di tepi jalan.

Tante Pin dan juga pegawai-pegawai hotel bilang kalau pantai Soge itu letaknya di balik bukit (?), bukit apa gunung inilah yang gue selalu gagal paham. Ha! Kayaknya sih bukit. Pokoknya itu bukit dibelah gitu dibikin jalan. Bisa ngebayangin nggak bagaimana bukit dibelah? Dan memang, gue akhirnya mengerti apa yang dimaksud bukit atau gunung dibelah itu. Ketika kita melewati ruas jalan, kita akan merasakan kanan dan kiri kita adalah macam tembok kapur gede tinggi dan sejenis rawan longsor gitu. Betul saja, sepanjang jalan banyak sekali ditemui rambu-rambu tanda akan rawan longsor. Seringkali hal ini bikin orang yang melintas jalan merasa ngeri. Justru rambu-rambu macam itulah yang sebenernya merupakan teror bagi pengguna jalan.Gue akan ceritakan suasana di dalam mobil kami waktu itu.

Pantai Soge terletak di tepi jalur lintas Selatan. Indah bukan?
Adek gue sibuk ama kameranya, yang sebenernya gue juga nggak tahu apa yang mau dia foto. Kanan kiri bukit kapur nggak jelas begitu, di depan juga jalanan naik turun kelak kelok nggak jauh beda lah sama yang di Tawangmangu atau Sarangan. So, what's there to take picture of? Gue sibuk dengan playlist gue, tante kayaknya tanda-tanda ngantuk dan sempet cemas kalau-kalau kita kesasar. Gue ngerti kok kenapa tante gue bisa punya pikiran kayak gitu. Gimana kagak, jalannya kebanyakan naik begitu, padahal kita mau ke pantai kan ya. Kalau dipikir secara sederhana banget, atau bisa dibilang pemikiran anak TK, pantai itu kan di bawah, sedangkan ini kita kok malah makin naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali (semacam lagu anak-anak). Om gue yang emang santai banget malah bilang begini "nyasar yo putar balik." LOL. Bener juga sih. Asli santai banget om gue jawabnya. Menit demi menit berlalu, ini kok belum ada tanda-tanda akan munculnya pantai ya? Jangan-jangan beneran nyasar. Ah nggak asik banget kan kalau harus putar balik. Inget jalannya aja udah bikin gue mual-mual, apalagi kalau harus beneran putar balik. Pantai nggak dapet, pusing iya. Gue sedikit annoyed waktu itu, tapi berkat kesabaran yang tiada ujung (halah), akhirnya ada sedikit pencerahan di ujung sana. Yap! Kami bisa melihat ada hamparan air terbentang di hadapan kami. Yep! Pantai!

Untuk mencapai Soge, kita harus menempuh waktu sekitar satu jam. Gampang aja sih, tinggal menyusuri jalur Pacitan-Trenggalek dan tunggu sampai pemandangan laut muncul di hadapan kita. Harus bersabar karena nyaris nggak ada pemandangan apa-apa sepanjang perjalanan. Sebenernya agak amazed aja gitu, secara kami kan naik-naik bukit, masa bisa ketemu pantai. Oke, mungkin pemikiran terlalu sederhana inilah yang tadi hampir membuat gue jd agak bloon tentang ilmu topografi atau sejenisnya itulah. Masalahnya, gue nggak inget kalau kami menemui jalanan yang turun, perasaan naik melulu, eh tau-tau ketemu jalan landai dan sebelahnya langsung pantai. Apa-apaan? Benar-benar hebat ciptaan Tuhan. Sampai di pantai Soge, nggak ada retribusi. Yep. You heard it right. Nggak ada retribusi. It means, pantai itu belum tersentuh tangan-tangan jahiliyah yang tidak bertanggung jawab, terlihat dari minimnya sampah yang berceceran di pasir, ada sih tapi menurut gue mah nggak fatal, malah bisa dibilang bersih, kayak pas zaman gue ke Nampu. Nah! Ini dia yang gue suka! Coba di Teleng Ria kemarin. Banyak sampah, salah satu faktornya ya karena banyak pengunjung. That's why kenapa gue nggak terlalu suka sama pantai yang terlampau ramai begitu. Now you know what I mean.

Karena letaknya di tepi jalan, pantai Soge bisa langsung dinikmati pengendara yang sedang melintasi jalur tersebut. Kami menepi dan naik ke sebuah gundukan tanah lah kalau gue bilang, jadi di dataran yang agak tinggi gitu. Nah, darisitu kita bisa menikmati pemandangan pantai dari atas, dan bener-bener indah! Outfit gue pagi itu bisa dibilang udah prepared banget. Kaos, celana pendek, sandal dan nggak bawa tas. Wkwkwkwk. Celana pendeknya agak gimana gitu secara sampe disana sekitar jam 9 pagi dan udah mulai panas, nah karena gue cukup cerdas (huekk), tentu gue udah menyiapkan precaution kan, yaitu tidak lain dan tidak bukan adalah lotion! Maaaan, kalau nggak pake lotion yakin bakal item gitu lah kena panas matahari yang katanya ber SPF apalah itu SPF berapa nggak ngerti. Hehe. Perlu diketahui juga kalau pagi itu gue kan belum mandi, hahaha. Lengkap sudah kalau mau basah-basahan pasti oke banget, tapi apa daya semua orang juga tahu kalau lagi musim hujan dan air laut lagi hobi pasang dan bergulung-gulung ria seenaknya.

Melihat lautan yang luas pasti kita dipaksa kembali larut ke masa lalu. Halah. Dengan kaos Gerrard gue yang sengaja gue bawa travelling ke Pacitan..kasihan kaos gue nggak pernah jalan-jalan, hobinya di lemari melulu, mungkin dia bosan (?), gue duduk di hamparan pasir putih yang untungnya jauh dari tindakan kriminal para pengunjungnya. Bersih! Banyak banget hal yang lalu lalang di pikiran gue. Perlu gue sebutin satu-satu? Intinya ya: Gerrard yang akan segera cabut dari LFC, liburan yang bentar lagi kelar, badan gue yang menuntut pijet, ngelamunin jodoh yang entah berada dimana, sampai proses evakuasi Air Asia yang jatuh di Selat Karimata. Mungkin efek laut kali ya, jadi mau nggak mau inget tu pesawat juga. Dalam hati berkata, bahwa hidup manusia itu hanya Tuhan yang tahu. Dia telah menentukan garis nasib hidup dan mati makhluk-makhlukNya. Melihat laut di depan mata, dan juga inget setiap momen memandang awan dari jendela pesawat, ingatlah bagaimana kecilnya kita di mata Tuhan dan betapa hebat ciptaanNya. Kita ini apa sih? Emang bener ya kalau laut itu mampu bikin kita berpikir macam-macam. Hebatnya lagi, kita bisa sekalian introspeksi diri.


Menjelang siang kami akhirnya kembali ke kota, mampir dulu beli oleh-oleh dan titipan budhe Amin. Sampe hotel dua jam sebelum check out. Untungnya gue tipikal orang yang kalau nginep di hotel tu packing out nya nggak mendadak. Barang semua udah di kemas malam sebelumnya. Singkat kata, gue sempet tidur-tiduran bentar waktu itu. Tadaaaaa! Berjumpa lagi dengan tantangan-tiga-lantai-tanpa-lift. Kali ini untungnya turun ya, bayangkan aja dulu waktu check in bawa-bawa barang dan koper naik tangga, untungnya sekarang turun, ya walaupun sama ribetnya. Huahahaha. Kami check out jam 12 tepat. Time to go home. Di perjalanan pulang kami mampir dulu ke Wonogori yang mengakibatkan Pacitan-Solo ditempuh dalam 5,5 jam. Mana besoknya udah masuk kerja lagi pula. Libur empat hari kok kurang. Haha. Mungkin karena liburan kali ini mendadak. Coba kalau udah prepared, gue yakin bakal lebih sempurna. Mendadak aja gue masih kepikiran bawa kaos Gerrard dan berencana matang untuk nulis nama dia di pasir pantai. Bayangkan kalau trip ini lebih terorganisir lagi, bayangkan hal apa yang akan lebih gue prepare. Lol. Overall, gue cukup happy lah sama liburan ini. Moment nya antara tepat dan nggak tepat. Why? Nggak tepat karena gue lagi sibuk menggalau Gerrard, dan tepat karena penggalauan itu butuh disembuhkan. Toh, perenungan-gue-sambil-menghadap-laut di pantai Soge itu membawa dampak positif untuk jiwa gue. Yoi, jiwa aja kok, raganya enggak. Biasanya jiwa raga itu kan udah satu paket ya? Kali ini raganya enggak ikutan. Secara badan gue pegel-pegel gitu. Huahahahaha. Sekarang gue udah belajar mengikhlaskan Gerrard cabut dari LFC. Gue yakin perpisahan ini hanya sementara. Wisata hati pertama di tahun 2015. Semoga gue bisa menjadi orang yang lebih baik lagi dalam segala hal. Amin.