Tuesday, December 25, 2012

"War of The Arrows"... what makes you a hero and what makes you a traitor?



 
Sudah jadi kebiasaan setelah menonton sebuah film dan film tersebut menarik perhatian saya, dan apabila saya menyukainya, maka akan berakhir pada sebuah tulisan. Wkwkwk. Kali ini film yg beruntung (?) adalah War of The Arrows, atau judul internasionalnya Arrow, The Ultimate Weapon. Bermula dari female crush saya pada Moon Chae Won, melabuhkan saya pada film panah memanah ini.

Settingnya sendiri berada pada jaman invasi bangsa Manchuria ke Korea tahun 1636 silam. Perlu diceritain detailnya? Nggak usah ya? Jujur saya nggak ngerti soal itu. Toh ini bukan tugas kuliah yg mengharuskan saya meneliti background kejadian yg membalut sebuah film. Ini hanya sebuah tulisan acak-acakan kayak biasanya. LOL. Udah pada tahu kan saya suka Moon Chae Won sejak The Princess Man, dan film ini juga rilis di tahun yg sama, sehingga dalam setahun itu Che Won eonni berkutat sama drama dan film yg berbau Joseon. 


Bahas apanya dulu ya? Ah..selalu begini deh..problem umum ketika mulai menulis. How do I start? Ya baiklah, ceritanya dulu aja ya. Dahulu kala..kl dalam bahasa Inggris sih once upon a time, hehe. Ada dua bersaudara, seorang anak laki-laki bernama Nam Yi dan juga adik perempuannya namanya Ja In. Singkatnya, di awal cerita dikisahkan mereka ini adalah dua anak penghianat. Keluarganya diserang dan ayah mereka pun tewas dibunuh, tapi beruntung mereka berdua ini bisa kabur. Sang ayah sempat berpesan pada Nam Yi untuk kabur ke tempat temannya untuk mendapatkan perlindungan. Akhirnya setelah menempuh perjalanan jauh, mereka berdua sampai di kediaman teman ayahnya tersebut. Sorry saya ga terlalu paha, lokasi tepatnya di kota apa dan apa namanya. Wkwkwk. Tapi yg jelas, itu merupakan suatu desa kecil yang konon damai sentosa sejahtera nan tenang. Kalau boleh saya ralat, itu bukan sekedar teman ayahnya, melainkan sahabatnya. Saya menyimpulkan ini karena ternyata ketika anak mereka lahir, mereka saling sumbang nama. Ayahnya Ja In memberi nama anak sahabatnya itu, dan sahabatnya itulah yg memberi nama Ja In. Oiya, anak sahabatnya itu anak laki-laki, btw. Namanya Seo Goon. Ah you can guess what happened next, right? Hahaha. Yap betul..setelah dewasa, they were in love.

Nam Yi dan Ja In hidup bersama keluarga ini dan sudah dianggap anak sendiri, ya walau si ibunya Seo Goon agak kurang suka. Soal ketidaksukaan ibunya ini, ada poin penting nanti yg ingin saya tunjukkan. Tapi nanti.

Ja In akhirnya menikah dengan Seo Goon, tapi sayangnya tanpa persetujuan kakaknya. Nam Yi berpendapat bahwa pernikahan itu akan membawa penderitaan pada Ja In karena status mereka yg adalah anak dari seorang penghianat, ditambah lagi ibu Seo Goon yg tidak ramah itu. Dan juga, Seo Goon yang notabene anak penurut. Nam Yi sargu kalau dia bisa melindungi Ja In. Tapi Ja In tetap nekad. Ketika scene di hutan, Ja In bilang ke kakaknya kalau dia tidak ingin jd pengecut seperti kakaknya. Maksudnya, selama ini Nam Yi hidup tenang dan setiap hari kerjaannya hanya memanah saja. Ja In tidak ingin hidup seperti itu, itulah kenapa dia berani mengambil resiko menikah dengan seo Goon. Mmmm..itu analisis saya pribadi sih. Wkwkwkwk. Tapi memang seperti itu. Ja In juga bilang “lebih baik kita mati saja waktu itu.”(ketika keluarganya diserang dan dibunuh)

 
 Btw, Chae Won eonni looks pretty, huh? Baru kali ini lihat dia di balut baju pengantin tradisional. Di Nice Guy, pake gaun pengantin modern tp sayang gagal nikah, disini untung jadi. Ah, wait a minute? Ini film sama Nice Guy duluan ini deng. Ahahaha. My bad.^^

 
Lanjut..sangat disayangkan, di hari pernikahan yang seharusnya bahagia malah berakhir dengan musibah. Tentara Manchuria tiba-tiba menyerbu desa yang damai itu. Siapa yang mengira hal itu bisa terjadi. Disini saya melihat bagaimana manusia yang kejamnya amit-amit. Layaknya penjajah yang selain ingin mencari daerah kekuasaan juga ingin mencari budak untuk disiksa. Ada satu scene dimana seorang bayi direbut dari ibunya dan dilempar ke sumur oleh seorang tentara Manchu. Damn it! Pas scene itu saya ampe melongo, tau nggak sih. Biasanya orang melongo karena terpukau akan sesuatu kan,  nah ini? Terpukau sama pemandangan tidak manusiawi. Huffft. Bikin mata iritasi aja.

Ayah dan ibu Seo Goon terbunuh oleh para tentara Manchu biadab itu. Beberapa hari sebelumnya, ayah Seo Goon dan Nam Yi terlibat percekcokkan karena Nam Yi yang sukit diatur. Dia..liar sih enggak, tapi gimana ya? Dia tipe orang yg suka hidup bebas, belajar sastra aja nggak mau, malah kerjaannya manah melulu. Ketika mereka berdua bertengkar, ada kalimat yang keluar dari mulut Nam Yi. “untuk apa semua ini? Kau hanya akan mati ditebas pedang.” Nam Yi berargumen kalau hanya duduk diam belajar dan juga berpolitik, serta tidak berbekal bela diri, maka nantinya akan mati di tangan musuh. Dan benar saja, ketika serangan Manchu itu, si ayah yang hanya punya sedikit keahlian, akhirnya mati dibunuh. Sedangkan si ibu..nah ini dia point yang saya sebut di atas tadi. Dia tidak suka pada dua anak angkatnya ini kan? Tapi, ketika Ja In ditarik oleh salah satu tentara, dia berusaha melepaskannya sambil berteriak “lepaskan putriku” Wohoo that time saya merasa jleb lagi gitu. Tetap saja, anak yg sudah dipelihara selama bertahun-tahun dan sudah menjadi menantunya, pasti mau tidak mau ada rasa sayang. Apalagi dalam kondisi seperti itu dimana seorang ibu harus melindungi anaknya. Tetapi sekali lagi sangat disayangkan, si ibu ini ditebas pedang juga oleh si prajurit terkutuk itu.

Seo Goon dan Ja In terpisah. Sedangkan Nam Yi, yg ketika pernikahan berlangsung sedang berada di hutan mungutin anak panah, bisa lolos dari serangan Manchu. Dia bergegas kembali ke rumah, tapi semua sudah hancur berantakan dan dia juga menemukan ayah angkatnya yg telah tiada. Lalu dia menangis..yaiyalah. Dia juga menemukan sebuah sepattu, satu ya, bukan sepasang. Sepatu itu adalah sepatu Ja In yang dia hadiahkan untuk pernikahannya. Satu pasangnya lagi masih menempel pada Ja In. Nam Yi pun membawa sepatu itu dengannya lalu pergi mencari adiknya itu.

Ah pengantin baru terpisah. Sayang sekali. Wkwkwkwk. Para wanita dibawa ke sebuah kamp dan.ya tau sendiri lah, direnggut kesuciannya satu demi satu. Rajanya emang kurang ajarm tapi sudah umum deng di masa itu, para wanita dijadikan pemuas nafsu. Lhawong bayi aja bisa dilempar ke sumur, ya nggak heran juga para wanitanya bisa diperkosa satu-satu begitu. Merinding ngebayanginnya. Well, story nya sampe disini aja dulu. Mau bahas yang lain.

Yang saya highlight dari film ini adalah bagaimana seseorang dicap sebagai traitor maupun hero. Di tagline movienya tertulis “a hero is born, the legend begins”. Siapa coba? Ya Nam Yi..secara dia tokoh utama disini. Begini, dia anak seorang penghianat kan? Tapi disini dia malah menjelma sebagai seorang pahlawan. Dia bisa membebaskan tawanan Manchu dan sukses menyelamatkan adiknya. Ditambah lagi dia dengan beraninya menyandera pangeran Manchu dan membakarnya. Wow! Setelah dia berhasil menyelamatkan Seo Goon, mereka berdua beserta dua pengikutnya berangkat menuju kamp Manchu (kamp nya tersebar-sebar, btw) untuk menyelamatan Ja In. Ada petikan dialog yang menarik perhatian saya:

“apakah kau tidak apa2 menyeberang kesana? Sekali kau menyeberang, maka kau akan di cap penghianat.”

Iya, bangsa Manchu pernah mengatakan pada tawanan Joseon nya kalau sudah menyeberang ke daratan seberang dan kembali lagi ke daratan mereka, mereka akan dicap sebagai penghianat. Tapi itu bangsa Manchu sendir yang bilang, supaya tawanan2 tersebut tidak berani kembali ke daratannya sendiri. Tanah mereka sendiri.

“kaisar yang menelantarkan rakyatnya sendiri sudah merupakan seorang pendosa besar.” Begitu balas Nam Yi.

That’s it! Memang betul, kaisar mereka telah menyerah pada bangsa Manchu. Tidak ada tindakan yang diambil demi menyelamatkan rakyatnya. Rakyatnya dibawa dan disiksa bangsa Manchu, kaisarnya hanya diam tak berkutik. Pemimpin macam apa? Saya suka sekali dengan quote di atas. Probably my most favorite dialogue in the movie. Ini juga menunjukkan bagaimana kita bisa membedakan yang mana traitor yang mana hero. Nam Yi sendiri adalah anak seorang traitor tetapi dengan gagah berani dia maju melawan penjajah di saat sang pemimpin malah cuci tangan dan lari dari tanggung jawab. 

Sedangkan Seo Goon, memang betul dia awalnya adalah seorang yang penurut dan termasuk dalam level biasa saja. Tetapi kita bisa melihat ada perubahan dalam dirinya. Dia menjadi seorang yang pemberani, seperti yang diinginkan Nam Yi untuk adiknya. Seo Goon bukan lagi seorang yang lemah yang tidak sanggup melindungi wanita yang dicintainya. Penilaian awal Nam Yi sepertinya sidah tidak berlaku lagi. Sekarang mereka berdua berada di satu tujuan, yaitu menyelamatkan Ja In.


Di kamp musuh, Ja In nyaris jadi korban si raja. Eh bentar..pangeran deng. Tadi saya nulis raja ya? Haha. Mian. Maksudnya pangeran, soalnya masih muda. Lupa..lupa. Oke, pangeran ya. Tapi dia bisa berontak. Ja In itu wanita kuat yang tidak ingin ditindas. Dia bisa membela diri. Sampai akhirnya Nam Yi dan Seo Goon menyelamatkannya. Tapi mereka lagi-lagi harus berpisah. Ah, hubungan kakak-adik dites lagi disini. Ada satu scene dimana Ja In disuruh pergi sama kakaknya. Nam Yi yang waktu itu sedang menyandera pangeran Manchu, menyuruh Ja In dan Seo Goon pergi terlebih dahulu baru kemudian dia akan menyusul. Ja In menolak. Kalau hidup ya hidup bersama, mati ya mati bersama. Lalu plakkkk! Nam Yi menamparnya. Tamparan itu untuk menyadarkannya. Fiuhh rasanya ikutan kena tampar juga. Ja In memandang kakaknya itu dengan pandangan separuh jengkel separuh shock. Lalu akhirnya dia dan Seo Goon kabur terlebih dahulu.

Sebenernya pola kakak-adik yang seperti ini umum dipakai dalam drama atau film. Tujuannya adalah untuk menegaskan bagaimana hubungan persaudaraan yang, terutama pola kakak laki-laki dan adik perempuan, yang diluarnya dibalut perselisihan tapi didalamnya sebenarnya ada cinta yang begitu mendalam. Karena, justru dengan adanya perselisihan itu, maka ketika fase problem solving alias penyelesaiannya, secara otomatis akan menghasilkan suatu perasaan afeksi antara kakak dan adik itu, which is very sweet. Pernah nggak kalian berantem sama sodara tapi ujung2nya ketika baikan, ada sedikit rasa di hati kalian. Kalian menangis kah? Terharu kah? Nah, perasaan ini yang saya maksud. Kenapa bisa seperti itu? Karena you love each other, kalian sangat care satu sama lain. Betul? Begitu pula Nam Yi dan Ja In.

Film ini visualnya aduhai sekali. Makanya saya sarankan untuk nonton dengan versi high definition. Saya aja nontonnya edisi blu ray..so mantab bener dah. Karena adegan memanahnya seabrek, bisa bayangin nonton ini dalam 3D? Bikin capek mata kali. Dan jantung. Versi 2D nya aja udah bagus dan bikin jantung kjleb gitu tiap ada anak panah yang melayang. Kalau di 3D ga tau deh saya bakal kuat nontonnya apa enggak. LOL. Selain itu, film ini jelas kaya budaya dan nilai-nilai kemanusiaan. Very touching. Paling yang bikin geleng-geleng cuma kelakuan prajurit Manchu yang super duper sialan itu. Yang jelas, kita bisa tahu bahwa, untuk menjadi seorang pahlawan itu yang dibutuhkan adalah tekad dan keinginan kuat untuk menyelamatkan sesame. Serta siap berkorban, bahkan nyawa sekalipun.

Terakhir, Nam Yi dihadapkan pada situasi Ja In yang akan dibunuh oleh seorang prajurit Manchu yang paling hebat, namanya siapa saya nggak tau. Wkwkwkwk. Tapi dia juga tokoh utama disini. Nam Yi kena panah dan hanya tinggal menunggu waktu saja untuk mati. Tpi dia mencabut panahnya dan mengarahkannya pada si prajurit. Si prajurit ini kurang ajar banget, dia berusaha mengintimidasi Nam Yi, tujuannya agar arah panahnya meleset. Dia juga bilang “kau lemah karena melihat adikmu? ah..lihat..bahkan angin saja tidak membantumu” karena memang ketika itu angin tidak berpihak pada Nam Yi. Tapi dia tidak menyerah. Dia memanah dan apa sodara2? Kena deh! Si prajurit itu tak percaya dirinya kena panah. Di leher loh! Langsung wasalam itu mah, langsung ke nadi.

Kata Nam Yi:
“Ketakutan itu sebaiknya langsung dihadapi. Dan, angin itu bukan untuk dikalkulasi, tapi untuk ditaklukkan.” Ah suka juga ama quote ini!
Tapi, Nam Yi pun tidak tertolong.

Dia mati di pangkuan Ja In. Sebelumnya ada scene dimana Ja In menemukan sepasang sepatunya di Nam Yi. Ini petikan dialognya:

Nam Yi: “ah kau sudah tau itu sepatu dariku?”
Ja In: “Tentu saja, ini kebesaran. Bagaimana kau tidak tahu ukuran sepatu adikmu sendiri?”
Nam Yi: “kebesaran ya? Aku kura kau sudag tumbuh dewasa. Ternyata belum sepenuhnya.”

Ini tadi fase problem solver yang saya maksud diatas. Efek yang ditimbulkan? Afeksi.

Akhirnya mereka kembali ke tanah mereka. Seo Goon dan Ja In membawa Nam Yi pulang ke daratan mereka. Setelah invasi tersebut dan hancurnya barikade Manchu, para tawanan kembali ke daratan Korea dengan kaki mereka sendiri. See. Sampe detik terakhirpun tak ada hal yang dilakukan oleh kaisar. Saya rasa ini yang saya ingin tulis. Ada yang kurang gay a? I hope not deh. Pokoknya ini film rekomndasi deh bagi yang suka kolosal. Yang nggak ya nggak usah nonton. Wkwkwkwk. Say amah film genre apa aja kalau tertarik ya saya tonton. Dan ini bagus. Thx banget loh Moon Chae Won, kalau nggak ada kamu saya nggak akan sampai kesini. Ah you’re so beautiful. ^^


Monday, December 24, 2012

I love to see your smile again, Stevie...























Tidak bisa dipungkiri kalau pertandingan melawan Fulham kemarin memang benar2 menorehkan goresan manis bagi seluruh Liverpudlian di muka bumi ini. Iya, kami memang sedang terpuruk, inilah yg membuat satu kemenangan besar saja mampu menghibur hati kami yg sudah sangat sering dilanda kegalauan dan kegusaran. Bagi saya secara pribadi, ada satu hal yg benar2 sangat membahagiakan saya, yaitu senyuman sang kapten. Apalagi dia juga mencatatkan namanya di papan skor. Saya ga bakal nulis banyak sih, hanya ingin mengungkapkan bagaimana saya sangat terharu dan bahagia. Berikut secuil foto2 dari pertandingan semalam.