WAWANCARA I
TUKANG BECAK
Amin (52), sebut saja begitu, lahir tanggal 11 September 1955 adalah seorang tukang becak di daerah kandang sapi, biasanya ia mangkal di depan RS Dr. Oen Solo. Ia biasanya menggunakan topi caping, kaos dan celana yang sangat sederhana dan sepasang sandal jepit. Kulitnya hitam karena sering bersahabat dengan terik matahari yang selalu ditemuinya ketika ia sedang bekerja menarik becak di tengah hari yang sangat panas. Ia memiliki seorang istri dan tiga orang anak. Pak Amin adalah orang yang sangat baik dan ramah, iapun dengan senang hati mau membagi kisah hidupnya pada saya.
Awalnya, Pak Amin adalah seorang tukang angkat barang, maksudnya adalah orang yang sering diminta bantuan untuk mengangkat barang-barang berat, misalnya kalau ada pindahan rumah atau ada pekerjaan lain yang membutuhkan tenaga manusia. Upahnyapun tidak tetap, tergantung seberapa sering ia mendapat pekerjaan dan seberapa besar tenaga yang dikeluarkan. Karena pekerjaan tersebut sangat jarang dan tidak selalu dibutuhkan setiap hari, akhirnya Pak Amin memutuskan untuk menjadi tukang becak, dengan meminjam modal pada seorang tetangganya yang baik hati.
Pak Amin sebenarnya ingin menjadi wiraswasta, tapi terbentur masalah modal besar dan lokasi usaha yang tak tersedia, maka ia mengurungkan niatnya itu. Walaupun hidup susah, tapi ia selalu sabar dan ikhals dalam menjalankan pekerjaannya, karena ia berpendapat bahwa dengan kesabaran, maka rezekipun akan dapat mengalir dengan lancar. Jadi, ia menjalani kehidupan dan pekerjaannya ini dengan ikhlas dan terus berharap ketabahan, kesabaran dan perjuangannya ini membuahkan hasil. Dengan bantuan istrinya yang juga bekerja sebagai tukang masak, paling tidak, kehidupan sehari-hari keluarganya masih bisa terpenuhi dan mampu membiayai ketiga anak mereka yang semuanya masih bersekolah.
WAWANCARA II
PEDAGANG DI PASAR
Endah (34), lahir 22 Februari 1974 adalah seorang wanita paruh baya yang berjualan sayuran di pasar kecil di daerah Yogyakarta. Ia adalah orang tua tunggal untuk anak laki-laki satu-satunya yang masih kelas empat sekolah dasar. Suaminya meninggal beberapa tahun lalu, saya tidak bertanya alasannya, karena takut nanti akan mempengaruhi perasaannya.
Bu Endah berpenampilan layaknya pedagang sayur lainnya, tak terlalu rapi dan seadanya. Semenjak suaminya meninggal, ia membesarkan anaknya sendiri. Walaupun demikian, Bu Endah terkadang sering menitipkan anaknya di tempat orang tuanya di daerah Sleman, karena ia sering harus berangkat pagi-pagi sekali untuk bekerja. Ia tidak tega meninggalkan anaknya sendirian di rumah.
Ketika saya tanya mengenai apa sebenarnya pekerjaan yang ia inginkan, ia malah menjawab tidak tahu. Katanya ia menerima apa saja pekerjaan yang ia dapatkan, memang kalau jalannya harus menjadi pedagang di pasar ya jalani saja, ia merasa pesimis bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih dari sekedar pedagang sayur karena ia merasa kalau pendidikannya tidak tinggi, yaitu hanya sampai SMP. Tetapi, ia tidak menginginkan anak laki-laki tunggalnya menjadi seperti dia. Ia bertekad menyekolahkan anaknya sampai ke universitas agar anaknya itu menjadi orang yang sukses.
TUKANG BECAK
Amin (52), sebut saja begitu, lahir tanggal 11 September 1955 adalah seorang tukang becak di daerah kandang sapi, biasanya ia mangkal di depan RS Dr. Oen Solo. Ia biasanya menggunakan topi caping, kaos dan celana yang sangat sederhana dan sepasang sandal jepit. Kulitnya hitam karena sering bersahabat dengan terik matahari yang selalu ditemuinya ketika ia sedang bekerja menarik becak di tengah hari yang sangat panas. Ia memiliki seorang istri dan tiga orang anak. Pak Amin adalah orang yang sangat baik dan ramah, iapun dengan senang hati mau membagi kisah hidupnya pada saya.
Awalnya, Pak Amin adalah seorang tukang angkat barang, maksudnya adalah orang yang sering diminta bantuan untuk mengangkat barang-barang berat, misalnya kalau ada pindahan rumah atau ada pekerjaan lain yang membutuhkan tenaga manusia. Upahnyapun tidak tetap, tergantung seberapa sering ia mendapat pekerjaan dan seberapa besar tenaga yang dikeluarkan. Karena pekerjaan tersebut sangat jarang dan tidak selalu dibutuhkan setiap hari, akhirnya Pak Amin memutuskan untuk menjadi tukang becak, dengan meminjam modal pada seorang tetangganya yang baik hati.
Pak Amin sebenarnya ingin menjadi wiraswasta, tapi terbentur masalah modal besar dan lokasi usaha yang tak tersedia, maka ia mengurungkan niatnya itu. Walaupun hidup susah, tapi ia selalu sabar dan ikhals dalam menjalankan pekerjaannya, karena ia berpendapat bahwa dengan kesabaran, maka rezekipun akan dapat mengalir dengan lancar. Jadi, ia menjalani kehidupan dan pekerjaannya ini dengan ikhlas dan terus berharap ketabahan, kesabaran dan perjuangannya ini membuahkan hasil. Dengan bantuan istrinya yang juga bekerja sebagai tukang masak, paling tidak, kehidupan sehari-hari keluarganya masih bisa terpenuhi dan mampu membiayai ketiga anak mereka yang semuanya masih bersekolah.
WAWANCARA II
PEDAGANG DI PASAR
Endah (34), lahir 22 Februari 1974 adalah seorang wanita paruh baya yang berjualan sayuran di pasar kecil di daerah Yogyakarta. Ia adalah orang tua tunggal untuk anak laki-laki satu-satunya yang masih kelas empat sekolah dasar. Suaminya meninggal beberapa tahun lalu, saya tidak bertanya alasannya, karena takut nanti akan mempengaruhi perasaannya.
Bu Endah berpenampilan layaknya pedagang sayur lainnya, tak terlalu rapi dan seadanya. Semenjak suaminya meninggal, ia membesarkan anaknya sendiri. Walaupun demikian, Bu Endah terkadang sering menitipkan anaknya di tempat orang tuanya di daerah Sleman, karena ia sering harus berangkat pagi-pagi sekali untuk bekerja. Ia tidak tega meninggalkan anaknya sendirian di rumah.
Ketika saya tanya mengenai apa sebenarnya pekerjaan yang ia inginkan, ia malah menjawab tidak tahu. Katanya ia menerima apa saja pekerjaan yang ia dapatkan, memang kalau jalannya harus menjadi pedagang di pasar ya jalani saja, ia merasa pesimis bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih dari sekedar pedagang sayur karena ia merasa kalau pendidikannya tidak tinggi, yaitu hanya sampai SMP. Tetapi, ia tidak menginginkan anak laki-laki tunggalnya menjadi seperti dia. Ia bertekad menyekolahkan anaknya sampai ke universitas agar anaknya itu menjadi orang yang sukses.
Comments