Tulisan merupakan pelampiasan perasaan yang tepat. Tidak semua orang mampu mengungkapkan apa yg sedang dirasakannya secara lisan. Ada dua faktor umum mengapa hal itu bisa terjadi: kamu merasakan beban yg sedang kamu rasakan begitu berat, dan, kamu mungkin terlalu malu utk mengatakannya. Dua alas an tersebut tentu saja akan membawa dampak kurang baik bagi jiwa yang nantinya kamu akan kembali tidak dpt mengontrol emosimu dan terus mengeluarkan air mata.
Akupun tidak tahu kenapa tiba-tiba ingin mengungkapkan perasaanku yg mungkin selama ini telah kupendam dalam-dalam, bahkan selama bertahun-tahun. Kisahku ini, entah bagaimana orang lain menilainya, tapi bagiku, semua yg telah digariskan Tuhan pasti memiliki arti. Akupun tidak bermaksud ingin mengenang masa lalu yg suram itu, tapi sebagai manusia, akupun punya perasaan mendalam yg sering merisaukan malam-malamku…
Sejak kecil, ya memang, karena aku anak tunggal, aku sangat disayang kedua orang tuaku. Betapa bahagianya aku setiap aku sadar tidak ada ‘saingain’ dalam hidupku, cinta ayah dan mama utuh sepenuhnya hanya untukku. Seolah tidak bisa lepas dari mereka, aku terbiasa mendapatkan kasih sayang yang, mungkin, terlalu banyak dari mereka. Tak pernah terlintas di benakku kalau aku akan ditinggalkan secepat itu.
Hidupku bahagia, materi, kasih sayang, intelegensi, semua seolah dianugerahkan kepadaku begitu sempurna. Tapi aku tidak tahu hal besar apa yg telah menantiku selanjutnya. Setiap kejadian yg kualami masih terlintas jelas, tanpa satu adeganpun hilang dari ingatanku. Aku sedang menikmati hari-hari baru sebagai siswa SMA, di sekolah yg ku idam-idamkan pula. Aku sangat senang berhasil mendapatkan tempat yg kuinginkan. Namun kebahagiaan itu tidak bertahan bahkan sampai aku menyelesaikan semester pertamaku.
Siang itu…rumah begitu sepi. Semua penghuninya sedang tertidur lelap. Mama di kamarku, aku di kamar kedua orang tuaku, dan ayahpun sedang beristirahat di kamar tamu. Entah kenapa waktu itu aku tiba-tiba saja terbangun dengan kagetnya ketika mendengar adzan Dhuhur berkumandang. Ketika bangun, aku merasa benar-benar tak biasa, ini terlalu aneh untukku, seolah ada yg menamparku dengan keras keluar dari alam mimpi. Lalu aku beranjak dari kamar dan, seperti biasa, mencari sesuatu untuk dimakan. Karena rumah terlalu sepi, aku menilik ke segala penjuru, ayahku masih tertidur lelap, tapi mamaku..beliau memang sedang tidur, setidaknya itu yg kulihat dari luar pintu. Tetapi posisinya..tentu membuatku bertanya-tanya, posisi tidur apa dengan kaki nyaris menyentuh lantai? Ketika kuperiksa dan kemudian aku sadar, aku langsung berteriak memanggil ayahku. Kami berdua menggotong mama menuju mobil yg akan membawanya ke RS. Waktu kutemukkan di kamar, beliau seperti org yg tidak berdaya dan nyaris kehabisan nafas. Ketika sampai di RS pun, beliau tidak bisa tenang, ketika diberi suntikan masih saja tubuhnya berkejang tanpa henti. Entah ini efek dari suntikan itu atau apa, hingga detik inipun, kami sekeluarga tidak mengerti dan tidak ingin mencari tahu. Setelah suasana tegang di IGD itulah, pelan-pelan hidupku mulai berubah. Aku dan ayahku harus menerima fakta kalau wanita yg kami cintai harus menjadi salah satu penghuni ruang ICU. Aku tahu mamaku bukan orang yg kuat menahan sakit, aku tahu beliau menderita ‘disana’ (entah di alam mana), tetapi aku masih bersyukur beliau masih bernafas waktu itu, walau secara fisik, ya bisa kubilang, tidak tenang. Tentu saja ayahku tidak kuat melihat istrinya diperlakukan demikian: dengan sangat terpaksa tangan dan kakinya diikat pd pinggiran tempat tidur, karena tubuhnya tidak mau berhenti meronta. Ketika sudah tenangpun, ikatan itu tidak juga dibuka, aku tidak tahu apa pertimbangan dokter, dan jujur saja aku tidak mau tahu. Yg aku tahu, itu ibuku, bukan pasien RSJ yg terus dirantai kebebasannya.
Malam itu, aku dan ayahku pulang ke rumah, untuk mengambil baju ganti dan beberapa hal penting lainnya, akupun juga harus ke sekolah paginya. Ketika aku sudah berada di kamarku, tiba-tiba telpon berdering. Bayangkan saja, kami sedang dalam keadaan seperti itu dan jam dua pagi ada yg menelpon. Bisa jadi kabar gembira, bisa jadi kabar buruk. Kudengar ayahku berbicara di telpon, tetapi sejenak kemudian tidak kudengar lg suaranya, dan akupun belum mendengar suara gagang telpon diletakkan. Hening sekali waktu itu. Pasti ada yg salah. Aku beranjak dari kamar, ku hampiri ayahku dan bertanya tetapi beliau tidak menjawab. Yg dilakukannya detik itu langsung memelukku. Tidak perlu penjelasan apapun, aku sudah bisa memahami apa yg terjadi. Saat itu kesadaran diriku entah lari kemana, rasanya seperti mimpi. Lalu aku ingat kata-kata mama tepat seminggu yg lalu. Aku dan ibuku sering sekali tidur bersama, kadang aku merasa kasihan terhadap ayahku karena sering meminjam istrinya untuk tidur di kamarku. Malam itu ketika kami sedang mengobrol ‘obrolan wanita’ di atas kasur, mama sempat berkata (membahas aku, sebagai cewek harus bisa ini itu) “kalau km nggak bisa apa-apa, nanti kalau mama nggak ada gimana?” Dan tiga hari sebelumnya, aku jatuh sakit dan dibawa ke dokter, sebenarnya mama juga merasa tidak enak badan, tapi ketika ditawari untuk ikut diperiksa juga, beliau menolak, “udah, biar Putri aja”. Jleeebb…..waktu aku ingat semua kejadian itu, seolah ada pisau tak kelihatan yg menusuk jantungku dan ada bongkahan batu besar yg menimpaku dan membuatku jatuh ke lantai, kakipun tidak dapat digerakkan. Ketika kamu telah kehilangan seseorang, barulah kamu sadar kejadian-kejadian yg terjadi sebelumnya, yg sebenarnya merupakan pertanda atau firasat.
Satu jam kemudian, tante Lies datang ke rumah untuk menjemputku dan ayah ke RS. Rasanya aku tidak mau bergerak dari kamarku, aku diam, aku bingung apa ini terjadi benar apa hanya mimpi? Rasanya aneh, benar-benar aneh. Mungkin karena selama ini aku terlalu bahagia, tiba-tiba aku dihadapkan dengan hal seperti itu, aku seperti mendapat tamparan yg begitu keras. Paginya, kami berangkat ke Solo, suasana msh berantakan. Ada satu hal yg akan selalu kuingat sampai kapanpun. Sahabatku, Nindy, datang melayat dan tanpa direncana, dia ikut ke Solo untuk menemaniku. Dia benar-benar sahabatku… Aku sangat berterima kasih untuk itu, dan ketika di makam, dialah jg yg membawa foto mama, karena waktu itu aku sudah tidak sanggup melakukan apapun. Aku bahagia melihat ibuku pergi dengan baik..sangat baik.. cantik, bersih.. Menunjukkan bahwa beliau memang wanita yg benar-benar baik dan disayang banyak orang. Kepergiannya memang begitu mendadak untukku, jujur aku belum siap. Aku masih 16 tahun saat itu, dimana aku sangat butuh mama sebagai penasehat hidupku dan tempatku bercerita. Kadang kalau aku melihat ada ibu sedang belanja di mall dgn anak gadisnya, aku merasa iri. Aku juga ingin seperti itu. Aku juga ingin menghabiskan malam di atas tempat tidur dengan ibuku, bercerita akan macam hal, curhat tentang bagaimana ganteng atau bagaimana menyebalkannya pacarku, dan lain-lain. Aku juga ingin belajar jadi seorang wanita, karena suatu hari nanti aku juga akan jadi seorang istri dan ibu. Perasaan seperti ini sering sekali kambuh dalam diriku. Tetapi apa yg Tuhan takdirkan aku harus bisa terima. Aku berharap juga kalau kelak ibu mertuaku bisa membimbingku dengan baik dan menyayangiku dengan sepenuh hati….
Akupun tidak tahu kenapa tiba-tiba ingin mengungkapkan perasaanku yg mungkin selama ini telah kupendam dalam-dalam, bahkan selama bertahun-tahun. Kisahku ini, entah bagaimana orang lain menilainya, tapi bagiku, semua yg telah digariskan Tuhan pasti memiliki arti. Akupun tidak bermaksud ingin mengenang masa lalu yg suram itu, tapi sebagai manusia, akupun punya perasaan mendalam yg sering merisaukan malam-malamku…
Sejak kecil, ya memang, karena aku anak tunggal, aku sangat disayang kedua orang tuaku. Betapa bahagianya aku setiap aku sadar tidak ada ‘saingain’ dalam hidupku, cinta ayah dan mama utuh sepenuhnya hanya untukku. Seolah tidak bisa lepas dari mereka, aku terbiasa mendapatkan kasih sayang yang, mungkin, terlalu banyak dari mereka. Tak pernah terlintas di benakku kalau aku akan ditinggalkan secepat itu.
Hidupku bahagia, materi, kasih sayang, intelegensi, semua seolah dianugerahkan kepadaku begitu sempurna. Tapi aku tidak tahu hal besar apa yg telah menantiku selanjutnya. Setiap kejadian yg kualami masih terlintas jelas, tanpa satu adeganpun hilang dari ingatanku. Aku sedang menikmati hari-hari baru sebagai siswa SMA, di sekolah yg ku idam-idamkan pula. Aku sangat senang berhasil mendapatkan tempat yg kuinginkan. Namun kebahagiaan itu tidak bertahan bahkan sampai aku menyelesaikan semester pertamaku.
Siang itu…rumah begitu sepi. Semua penghuninya sedang tertidur lelap. Mama di kamarku, aku di kamar kedua orang tuaku, dan ayahpun sedang beristirahat di kamar tamu. Entah kenapa waktu itu aku tiba-tiba saja terbangun dengan kagetnya ketika mendengar adzan Dhuhur berkumandang. Ketika bangun, aku merasa benar-benar tak biasa, ini terlalu aneh untukku, seolah ada yg menamparku dengan keras keluar dari alam mimpi. Lalu aku beranjak dari kamar dan, seperti biasa, mencari sesuatu untuk dimakan. Karena rumah terlalu sepi, aku menilik ke segala penjuru, ayahku masih tertidur lelap, tapi mamaku..beliau memang sedang tidur, setidaknya itu yg kulihat dari luar pintu. Tetapi posisinya..tentu membuatku bertanya-tanya, posisi tidur apa dengan kaki nyaris menyentuh lantai? Ketika kuperiksa dan kemudian aku sadar, aku langsung berteriak memanggil ayahku. Kami berdua menggotong mama menuju mobil yg akan membawanya ke RS. Waktu kutemukkan di kamar, beliau seperti org yg tidak berdaya dan nyaris kehabisan nafas. Ketika sampai di RS pun, beliau tidak bisa tenang, ketika diberi suntikan masih saja tubuhnya berkejang tanpa henti. Entah ini efek dari suntikan itu atau apa, hingga detik inipun, kami sekeluarga tidak mengerti dan tidak ingin mencari tahu. Setelah suasana tegang di IGD itulah, pelan-pelan hidupku mulai berubah. Aku dan ayahku harus menerima fakta kalau wanita yg kami cintai harus menjadi salah satu penghuni ruang ICU. Aku tahu mamaku bukan orang yg kuat menahan sakit, aku tahu beliau menderita ‘disana’ (entah di alam mana), tetapi aku masih bersyukur beliau masih bernafas waktu itu, walau secara fisik, ya bisa kubilang, tidak tenang. Tentu saja ayahku tidak kuat melihat istrinya diperlakukan demikian: dengan sangat terpaksa tangan dan kakinya diikat pd pinggiran tempat tidur, karena tubuhnya tidak mau berhenti meronta. Ketika sudah tenangpun, ikatan itu tidak juga dibuka, aku tidak tahu apa pertimbangan dokter, dan jujur saja aku tidak mau tahu. Yg aku tahu, itu ibuku, bukan pasien RSJ yg terus dirantai kebebasannya.
Malam itu, aku dan ayahku pulang ke rumah, untuk mengambil baju ganti dan beberapa hal penting lainnya, akupun juga harus ke sekolah paginya. Ketika aku sudah berada di kamarku, tiba-tiba telpon berdering. Bayangkan saja, kami sedang dalam keadaan seperti itu dan jam dua pagi ada yg menelpon. Bisa jadi kabar gembira, bisa jadi kabar buruk. Kudengar ayahku berbicara di telpon, tetapi sejenak kemudian tidak kudengar lg suaranya, dan akupun belum mendengar suara gagang telpon diletakkan. Hening sekali waktu itu. Pasti ada yg salah. Aku beranjak dari kamar, ku hampiri ayahku dan bertanya tetapi beliau tidak menjawab. Yg dilakukannya detik itu langsung memelukku. Tidak perlu penjelasan apapun, aku sudah bisa memahami apa yg terjadi. Saat itu kesadaran diriku entah lari kemana, rasanya seperti mimpi. Lalu aku ingat kata-kata mama tepat seminggu yg lalu. Aku dan ibuku sering sekali tidur bersama, kadang aku merasa kasihan terhadap ayahku karena sering meminjam istrinya untuk tidur di kamarku. Malam itu ketika kami sedang mengobrol ‘obrolan wanita’ di atas kasur, mama sempat berkata (membahas aku, sebagai cewek harus bisa ini itu) “kalau km nggak bisa apa-apa, nanti kalau mama nggak ada gimana?” Dan tiga hari sebelumnya, aku jatuh sakit dan dibawa ke dokter, sebenarnya mama juga merasa tidak enak badan, tapi ketika ditawari untuk ikut diperiksa juga, beliau menolak, “udah, biar Putri aja”. Jleeebb…..waktu aku ingat semua kejadian itu, seolah ada pisau tak kelihatan yg menusuk jantungku dan ada bongkahan batu besar yg menimpaku dan membuatku jatuh ke lantai, kakipun tidak dapat digerakkan. Ketika kamu telah kehilangan seseorang, barulah kamu sadar kejadian-kejadian yg terjadi sebelumnya, yg sebenarnya merupakan pertanda atau firasat.
Satu jam kemudian, tante Lies datang ke rumah untuk menjemputku dan ayah ke RS. Rasanya aku tidak mau bergerak dari kamarku, aku diam, aku bingung apa ini terjadi benar apa hanya mimpi? Rasanya aneh, benar-benar aneh. Mungkin karena selama ini aku terlalu bahagia, tiba-tiba aku dihadapkan dengan hal seperti itu, aku seperti mendapat tamparan yg begitu keras. Paginya, kami berangkat ke Solo, suasana msh berantakan. Ada satu hal yg akan selalu kuingat sampai kapanpun. Sahabatku, Nindy, datang melayat dan tanpa direncana, dia ikut ke Solo untuk menemaniku. Dia benar-benar sahabatku… Aku sangat berterima kasih untuk itu, dan ketika di makam, dialah jg yg membawa foto mama, karena waktu itu aku sudah tidak sanggup melakukan apapun. Aku bahagia melihat ibuku pergi dengan baik..sangat baik.. cantik, bersih.. Menunjukkan bahwa beliau memang wanita yg benar-benar baik dan disayang banyak orang. Kepergiannya memang begitu mendadak untukku, jujur aku belum siap. Aku masih 16 tahun saat itu, dimana aku sangat butuh mama sebagai penasehat hidupku dan tempatku bercerita. Kadang kalau aku melihat ada ibu sedang belanja di mall dgn anak gadisnya, aku merasa iri. Aku juga ingin seperti itu. Aku juga ingin menghabiskan malam di atas tempat tidur dengan ibuku, bercerita akan macam hal, curhat tentang bagaimana ganteng atau bagaimana menyebalkannya pacarku, dan lain-lain. Aku juga ingin belajar jadi seorang wanita, karena suatu hari nanti aku juga akan jadi seorang istri dan ibu. Perasaan seperti ini sering sekali kambuh dalam diriku. Tetapi apa yg Tuhan takdirkan aku harus bisa terima. Aku berharap juga kalau kelak ibu mertuaku bisa membimbingku dengan baik dan menyayangiku dengan sepenuh hati….
Comments