Aku hidup hanya berdua dengan ayahku. Aku sering berpikir kalau aku bukan tipe anak yg berhasil merawat orang tua dengan baik. Ayahku sakit diabetespun aku tidak tahu harus berbuat apa. Kalau dulu masih ada mama, she knew what to do. Tapi aku? Makanan apa-apa saja yg boleh atau tidak boleh dikonsumsi ayahu saja aku masih bingung. Ditinggal figur wanita dewasa membuat rumah kacau. Aku mau tidak mau dipaksa menjadi lebih mandiri dan berguna untuk keluarga kecilku itu. Aku selalu ingat setiap pulang kantor, ayahku sering sekali membawakanku makanan, baik itu ayam goring ataupun makanan kesukaannku lainnya, aku sih senang-senang saja, tetapi ketika melihat ayahku hanya bisa makan makanan yg “nggak keren” atau melihatnya hanya bisa minum the tawar saja, membuatku miris. Yang bisa kulakukan hanya mengawasi dan mengingatkan kalau-kalau ayahku melanggar “peraturan kesehatan” nya. Tapi itu tidak bertahan lama.
Kami terus hidup dengan cara amburadul semacam itu. Hingga suatu malam, aku sedang menonton tivi di kamar, tiba-tiba entah kenapa, aku merasa ingin melihat ayah sudah tidur atau belum. Ketika kubuka pintu kamarnya, beliau dengan muka pucatnya memanggil namaku tetapi dengan volume yg sangat pelan. Ternyata beliau terus memanggilku tetapi aku tidak bisa mendengarnya karena beliau hamper tidak punya tenaga untuk berteriak. Aku berterima kasih pada Tuhan yg selalu membimbingku untuk menemukan kedua orang tuaku yg sedang berusaha mempertahankan hidupnya. Tanpa petunjukNya, mungkin semua sudah terlalu terlambat. At least, aku bisa menyelamatkan mereka terlebih dahulu.
Malam itu pukul sebelas, aku dengan segera mengetuk, oke lebih tepatnya menggedor, pintu rumah tetanggaku untuk minta bantuan. Mas Iwan membantuku membawa ayah ke RS Panti Wilasa dr.Cipto, (ini permintaan ayahku sendiri, katanya biar dekat dengan kantor), baiklah kuturuti, walau RS tsb letaknya agak jauh dari rumah kami di Jl. Siliwangi, Krapyak. Dan terima kasih Tuhan, ayahku bisa diselamatkan, tetapi dengan konsekuensi harus cuci darah dua kali seminggu.
Aku mengerti perasaan ayahku yang ingin pulang ke rumah, beliau dirawat di RS sudah berbulan-bulan. Beliau dipindahkan ke Panti Wilasa Citarum, dan setiap pulang sekolah aku selalu menyempatkan diri kesana, walau dari sekolahku di Jl.Ronggolawe, harus tiga kali ganti angkot (Balad-Johar, Johar-dr.Cipto, dr.Cipto-Citarum), tetapi kulakukan itu sepenuh hati. Kadang kalau weekend, sabtu malam aku tidur di RS. Aku senang bisa tidur di RS, karena bisa bersama ayahku, karena kami sama-sama kesepian. Selama ayahku di RS, aku tinggal sendirian di rumah seperti anak sebatang kara. Ayahkupun pasti kesepian hanya bisa tidur di bangsalnya. Aku juga ingat satu kejadian paling mengharukan seumur hidup. Ketika aku tidur di RS, tengah malam, dan mungkin ayahku mengira aku sudah tidur, beliau sempat berucap, entah kepada siapa, kepada malaikat atau kepada Tuhan aku tidak tahu. Beliau berkata “jangan ambil aku dulu, nanti anakku bagaimana”, detik itu pula aku tidak tahu harus bagaimana, aku harus menjaga posisi tubuhku agar tetap stabil dan terlihat seperti benar-benar sudah tertidur dan tidak terbangun, tapi di samping itu aku juga harus menahan air mata. Malam itu lebih mencekam daripada malam seperti di film-film horor.
Sedikit cerita dari guru BK ku, bu Endang, ketika mengomentari keterlambatanku. Ya, aku memang sering terlambat ke sekolah. Beliau bilang “telat lg Nugrahenny? Kenapa..nggak ada yg ngebangunin ya?” begitulah komentarnya tentang aku yg hidup sendirian di rumah. Sebenarnya pakdeku telah menawarkanku untuk tinggal di rumahnya, tetapi aku menolak, home sweet home! Walaupun sendirian tapi aku merasa lebih bebas di rumah. Merawat ayahku di RS memang sangat berkesan. Mungkin kalian belum pernah merasakannya, tetapi merawat orang tua itu sangat menyenangkan, ada kasih sayang yg tidak bisa terungkapkan disana. Seperti contoh, ketika aku menyuapi ayahku makan, akupun juga sambil mengoceh hal ini itu, yg bisa membangkitkan semangat hidupnya, waktu ayah tidak doyan makan, aku berusaha sekuat mungkin untuk membujuknya. “nggak mau pulang ke rumah po? Udah berbulan-bulan nggak bosen, yah? Enakan juga di rumah.” Dan beberapa bujuk rayu lainnya. Dan apa? Berhasil. Ayahku mau makan. See..kalau kita melaksanakannya dengan spenuh hati, kita pasti akan berhasil menuai hasil yg baik. Setiap suapan yg kuberikan mengandung doa. Aku paham betul bagaimana perasaannya, aku tahu ayah tiap malam pasti memikirkanku. Aku tahu bebannya sebagai single parent sangant berat. Kalau boleh kubilang, mungkin kami saling menyalahkan diri sendiri: ayahku menyalahkan dirinya yg tidak bisa menjagaku dengan baik, dan akupun demikian. Kami seolah merasa tidak berguna dan tidak berhasil melanjutkan apa yg ditinggalkan ibuku.
Malam itu, aku sedang menonton pertandingan sepakbola, karena waktu itu sedang WC 2006. Aku masih ingat betul. Inggris vs Portugal, dengan Rooney di kartu merah. Aku tidak akan pernah lupa momen itu, momen dimana penderitaanku mencapai puncaknya. Ada yg mengetuk pintu rumah, aku takut sekali, biasanya, aku sidah mengunci pintu sejak Magrib. Tapi mendengar suara yg memanggil namaku dan aku mengenalnya, aku bukakan pintu, dan iya, teman ayahku datang untuk menjemputku. Dia bilang ayah pengen dibawakan buku buat dibaca (iya, my dad itu kutu buku), terserah buku apa saja, yg penting buku hukum atau apalah yg bisa bikin beliau tidak bosan. Kontan saja aku menjawab “kok malem-malem om? Kenapa nggak besok pagi aja?” tetapi dia tetap ngotot ingin membawaku ke RS. Baiklah, aku menurut. Di tengah perjalanan, dia bertanya anggota keluarga mana yg bisa dihibungi, ya kujawab “pakde”, dan teman-teman ayahku yg lain mulai bertanya hal-hal yg tidak penting mengenai piala dunia dan sebagainya, sepertinya ingin mengalihkan perhatianku karena aku memang sudah curiga ada something wrong.
Tepat saja, sampai di RS, bukannya langsung ke bangsal, tapi kami mlh ke administrasi dulu. Detik itu aku sempat punya pikiran, jangan-jangan ayahku sudah diijinkan pulang? Kenapa ini mengurus administrasi coba? Ooops ternyata aku salah, salah besar. Aku ditarik, atau lebih tepatnya dituntun ke bangsal, teman ayahku berkata “ayo liat ayah dulu”, ketika kami sampai di bangsal, yg ditunjukkan padaku adl seorang manusia yg sudah kaku dan seluruh tubuhnya sudah ditutupi kain dari ujung kepal hingga ujung kaki. (???????) Aku mengumpulkan kesadarnku untuk mencerna situasi. Dan akhirnya aku mengerti. Demi Tuhan, kali ini jauh lebih shocking. Walau sebenarnya aku telah mempersiapkan kemungkinan terburuk, tapi tetap saja aku tidak bisa terima, setiap hari yg kuinginkan ayahku pulang ke rumah dengan sehat. Tetapi hal ini mungkin yg lebih baik untuknya. Tiba-tiba semua gelap, tau-tau aku terbangun dalam posisi tertidur, tante Lies (lagi) dan beberapa keluarga yg sudah datang mengerumuniku di tempat tidur. Aku sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi waktu itu. Yg di benakku hanya “aku sendirian”. Cuma itu.
Om Joko..teman baik ayahku datang keesokan harinya. Beliau sudah kuanggap ayahku juga, sangat baik dan sayang padaku. Beliau sedang di Jakarta dan langsung balik ke Semarang setelah mendengar kabar ayahku telah tiada. Om Joko memelukku, tidak menangis, atau lebih tepatnya, menahan tangis. I could feel it. Beliaupun juga mengantar samapai Solo.
Perasaan tidak enak menggelayutiku terus menerus. Kenapa? Aku berpikir bagaimana kesepiannya ayahku. Bahkan menjelang akhir hidupnya beliau tidak sempat melihat putrinya ini. Akupun demikian, rasanya ingin memukul diri sendiri kenapa aku tidak berada di sisinya dan mengantarnya pergi? Ayahku pasti ingin melihatku sebelum pergi, tetapi apa yg kulakukan? Nothing. Hingga detik inipun aku masih merasa tugasku sebagai anak masih benar-benar belum tuntas.
Kami terus hidup dengan cara amburadul semacam itu. Hingga suatu malam, aku sedang menonton tivi di kamar, tiba-tiba entah kenapa, aku merasa ingin melihat ayah sudah tidur atau belum. Ketika kubuka pintu kamarnya, beliau dengan muka pucatnya memanggil namaku tetapi dengan volume yg sangat pelan. Ternyata beliau terus memanggilku tetapi aku tidak bisa mendengarnya karena beliau hamper tidak punya tenaga untuk berteriak. Aku berterima kasih pada Tuhan yg selalu membimbingku untuk menemukan kedua orang tuaku yg sedang berusaha mempertahankan hidupnya. Tanpa petunjukNya, mungkin semua sudah terlalu terlambat. At least, aku bisa menyelamatkan mereka terlebih dahulu.
Malam itu pukul sebelas, aku dengan segera mengetuk, oke lebih tepatnya menggedor, pintu rumah tetanggaku untuk minta bantuan. Mas Iwan membantuku membawa ayah ke RS Panti Wilasa dr.Cipto, (ini permintaan ayahku sendiri, katanya biar dekat dengan kantor), baiklah kuturuti, walau RS tsb letaknya agak jauh dari rumah kami di Jl. Siliwangi, Krapyak. Dan terima kasih Tuhan, ayahku bisa diselamatkan, tetapi dengan konsekuensi harus cuci darah dua kali seminggu.
Aku mengerti perasaan ayahku yang ingin pulang ke rumah, beliau dirawat di RS sudah berbulan-bulan. Beliau dipindahkan ke Panti Wilasa Citarum, dan setiap pulang sekolah aku selalu menyempatkan diri kesana, walau dari sekolahku di Jl.Ronggolawe, harus tiga kali ganti angkot (Balad-Johar, Johar-dr.Cipto, dr.Cipto-Citarum), tetapi kulakukan itu sepenuh hati. Kadang kalau weekend, sabtu malam aku tidur di RS. Aku senang bisa tidur di RS, karena bisa bersama ayahku, karena kami sama-sama kesepian. Selama ayahku di RS, aku tinggal sendirian di rumah seperti anak sebatang kara. Ayahkupun pasti kesepian hanya bisa tidur di bangsalnya. Aku juga ingat satu kejadian paling mengharukan seumur hidup. Ketika aku tidur di RS, tengah malam, dan mungkin ayahku mengira aku sudah tidur, beliau sempat berucap, entah kepada siapa, kepada malaikat atau kepada Tuhan aku tidak tahu. Beliau berkata “jangan ambil aku dulu, nanti anakku bagaimana”, detik itu pula aku tidak tahu harus bagaimana, aku harus menjaga posisi tubuhku agar tetap stabil dan terlihat seperti benar-benar sudah tertidur dan tidak terbangun, tapi di samping itu aku juga harus menahan air mata. Malam itu lebih mencekam daripada malam seperti di film-film horor.
Sedikit cerita dari guru BK ku, bu Endang, ketika mengomentari keterlambatanku. Ya, aku memang sering terlambat ke sekolah. Beliau bilang “telat lg Nugrahenny? Kenapa..nggak ada yg ngebangunin ya?” begitulah komentarnya tentang aku yg hidup sendirian di rumah. Sebenarnya pakdeku telah menawarkanku untuk tinggal di rumahnya, tetapi aku menolak, home sweet home! Walaupun sendirian tapi aku merasa lebih bebas di rumah. Merawat ayahku di RS memang sangat berkesan. Mungkin kalian belum pernah merasakannya, tetapi merawat orang tua itu sangat menyenangkan, ada kasih sayang yg tidak bisa terungkapkan disana. Seperti contoh, ketika aku menyuapi ayahku makan, akupun juga sambil mengoceh hal ini itu, yg bisa membangkitkan semangat hidupnya, waktu ayah tidak doyan makan, aku berusaha sekuat mungkin untuk membujuknya. “nggak mau pulang ke rumah po? Udah berbulan-bulan nggak bosen, yah? Enakan juga di rumah.” Dan beberapa bujuk rayu lainnya. Dan apa? Berhasil. Ayahku mau makan. See..kalau kita melaksanakannya dengan spenuh hati, kita pasti akan berhasil menuai hasil yg baik. Setiap suapan yg kuberikan mengandung doa. Aku paham betul bagaimana perasaannya, aku tahu ayah tiap malam pasti memikirkanku. Aku tahu bebannya sebagai single parent sangant berat. Kalau boleh kubilang, mungkin kami saling menyalahkan diri sendiri: ayahku menyalahkan dirinya yg tidak bisa menjagaku dengan baik, dan akupun demikian. Kami seolah merasa tidak berguna dan tidak berhasil melanjutkan apa yg ditinggalkan ibuku.
Malam itu, aku sedang menonton pertandingan sepakbola, karena waktu itu sedang WC 2006. Aku masih ingat betul. Inggris vs Portugal, dengan Rooney di kartu merah. Aku tidak akan pernah lupa momen itu, momen dimana penderitaanku mencapai puncaknya. Ada yg mengetuk pintu rumah, aku takut sekali, biasanya, aku sidah mengunci pintu sejak Magrib. Tapi mendengar suara yg memanggil namaku dan aku mengenalnya, aku bukakan pintu, dan iya, teman ayahku datang untuk menjemputku. Dia bilang ayah pengen dibawakan buku buat dibaca (iya, my dad itu kutu buku), terserah buku apa saja, yg penting buku hukum atau apalah yg bisa bikin beliau tidak bosan. Kontan saja aku menjawab “kok malem-malem om? Kenapa nggak besok pagi aja?” tetapi dia tetap ngotot ingin membawaku ke RS. Baiklah, aku menurut. Di tengah perjalanan, dia bertanya anggota keluarga mana yg bisa dihibungi, ya kujawab “pakde”, dan teman-teman ayahku yg lain mulai bertanya hal-hal yg tidak penting mengenai piala dunia dan sebagainya, sepertinya ingin mengalihkan perhatianku karena aku memang sudah curiga ada something wrong.
Tepat saja, sampai di RS, bukannya langsung ke bangsal, tapi kami mlh ke administrasi dulu. Detik itu aku sempat punya pikiran, jangan-jangan ayahku sudah diijinkan pulang? Kenapa ini mengurus administrasi coba? Ooops ternyata aku salah, salah besar. Aku ditarik, atau lebih tepatnya dituntun ke bangsal, teman ayahku berkata “ayo liat ayah dulu”, ketika kami sampai di bangsal, yg ditunjukkan padaku adl seorang manusia yg sudah kaku dan seluruh tubuhnya sudah ditutupi kain dari ujung kepal hingga ujung kaki. (???????) Aku mengumpulkan kesadarnku untuk mencerna situasi. Dan akhirnya aku mengerti. Demi Tuhan, kali ini jauh lebih shocking. Walau sebenarnya aku telah mempersiapkan kemungkinan terburuk, tapi tetap saja aku tidak bisa terima, setiap hari yg kuinginkan ayahku pulang ke rumah dengan sehat. Tetapi hal ini mungkin yg lebih baik untuknya. Tiba-tiba semua gelap, tau-tau aku terbangun dalam posisi tertidur, tante Lies (lagi) dan beberapa keluarga yg sudah datang mengerumuniku di tempat tidur. Aku sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi waktu itu. Yg di benakku hanya “aku sendirian”. Cuma itu.
Om Joko..teman baik ayahku datang keesokan harinya. Beliau sudah kuanggap ayahku juga, sangat baik dan sayang padaku. Beliau sedang di Jakarta dan langsung balik ke Semarang setelah mendengar kabar ayahku telah tiada. Om Joko memelukku, tidak menangis, atau lebih tepatnya, menahan tangis. I could feel it. Beliaupun juga mengantar samapai Solo.
Perasaan tidak enak menggelayutiku terus menerus. Kenapa? Aku berpikir bagaimana kesepiannya ayahku. Bahkan menjelang akhir hidupnya beliau tidak sempat melihat putrinya ini. Akupun demikian, rasanya ingin memukul diri sendiri kenapa aku tidak berada di sisinya dan mengantarnya pergi? Ayahku pasti ingin melihatku sebelum pergi, tetapi apa yg kulakukan? Nothing. Hingga detik inipun aku masih merasa tugasku sebagai anak masih benar-benar belum tuntas.
Comments